Bahaya Narkoba Bab II

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sejarah Narkoba

Penggunaan obat-obatan jenis opioid sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia II pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina. Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya dengan menghisapnya melalui pipa panjang. Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).

Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor. Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan Pemerintah Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie), yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278 Juncto 536). Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut.

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949).

Baru pada waktu tahun 1970, masalah obat-obat berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir disemua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang bersamaan.

Menyadari hal tersebut, maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk Badan Koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71. Bakolak Inpres 6/71 adalah sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing.

Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-undang Narkotika warisan Belanda (1927) sudah tidak memadai lagi. Maka Pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang R.I.No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. UU Narkotika No.9/1976 antara lain mengatur berbagai hal khusunya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32) dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan Rumah sakit terdekat sesuai petunjuk Menteri Kesehatan.

Dengan adanya kasus Zarima, maka UU Anti Narkotika direvisi. Ada UU Anti Narkotika nomor 22/1997 dan UU Psikotropika nomor 5/1997. UU no. 22/1997 tentang narkotika mengatur ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.

Bahan-bahan narkotika (morphine, heroine) berasal dari selundupan luar negeri, sedangkan ganja berasal dari dala negeri. Dewasa ini penyalahgunaan obat tidak terbatas pada jenis obat-obatan narkotika dan ganja saja, melainkan juga terhadap obat-obat jenis psikotropika dan minuman keras. Tidak jarang penyalahgunaan opbat tersebut memakai obat berganti-ganti dan kombinasi satu obat dengan lainnya (polydrugs abuser). Pengamatan yang dilakukan sejak 1969, memberikan gambaran penyalahgunaan obat di Indonesia sebagai berikut :

a) 1969-1973 : terbanyak/hampir seluruhnya menyalahgunakan morphine (golongan opiat) dan ganja (marihuana).

b) 1973-1976 : morphine, ganja, barbiturat (sejenis obat tidur dan obat anti-epilepsi) dan beberapa jenis obat tidur lainnya.

c) 1976-1979 : ganja, barbiturat, obat tidur lain (hipnotika, sedativa, obat penenang), morphine berkurang.

d) 1979-1985 : ganja barbiturat, beberapa jenis golongan obat hipnotika, sedativa, alkohol, morphine dan heroine (golongan opiat) mulai bertambah lagi.

e) 1985-1995 : ganja, barbiturat, alkohol, morphine, heroine, benzodiazepine.

f) 1995-sekarang : ganja, barbiturat, alkohol, heroine(putauw), kokain, benzodiazepine, ecstacy.

B. Penyalahgunaan Obat

1) Pendekatan Organobilogik

Obat psikotropik adalah bahan atau zat (substansi) yang dapat mempengaruhi fungsi berfikir, perasaan dan tingkah laku pada orang yang memakainya. WHO (1969) memberikan batasan mengenai “Drug” (Obat), setiap zat (bahan) yang jika masuk dalam organisme hidup, akan mengadakan perubahan pada satu atau lebih fungsi-fungsi organisme tersebut. Bahan-bahan yang masuk narkotika, ganja, psikotropika dan alkohol adalah bahan-bahan yang mempunyai efek tersebut. Bahan-bahan tersebut seringkali disalahgunakan (drug abuse), sehingga dapat mengakibatkan ketergantungan (drug dependence).

Dengan penyalahgunaan obat (drug abuse) menurut WHO (1969) adalah pemakaian obat yang berlebihan secara terus menerus atau berkala diluar maksud medik atau pengobatan. Sedangkan yang dimaksud dengan ketergantungan obat (drug dependence) adalah suatu keadaan di mana akibat pemakaiannya menimbulkan hal-hal berikut :

a. Keinginan yang luar biasa (an overpowering desire) terhadap obat yang dimaksud, dan kalau perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya.

b. Kecenderungan untuk menambah takaran (dosis), hal ini sesuai dengan toleransi tubuh.

c. Ketergantungan psikis, apabila obat itu dihentikan akan menimbulkan kecemasan, kegelisahan, depresi dan lain-lain gejala psikis.

d. Ketergantungan fisik, apabila obat dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang disebut sindroma putus obat.

Orang dengan ketergantungan obat, apabila dihentikan pemakainannya akan menunjukan gejala-gejala putus obat (withdrawal symptoms) secara fisik (misalnya pada gejala putus obat morphine) : menguap, mata berair, hidung berair, bersin, pernafasan cepat, tidak nafsu makan, pupil melebar, tubuh gemetar, gigi geligi bergeletukkan, kejang-kejang otot anggota gerak, perut dan punggung, denyut nadi bertambah, tekanan darah naik, buang-buang air, muntah-muntah, tidak dapat tidur dan gaduh gelisah.

Ditinjau dari organobiologik, maka penyalahgunaan obat dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan hal ini ditandai dengan timbulnya toleransi dan gejala putus obat. Disamping itu penyalahgunaan obat dapat menimbulkan komplikasi medik. Pada umumnya `komplikasi medik itu tidak disebabkan oleh obatnya sendiri melainkan oleh keadaan-keadaan dimana pada saat obat itu dipakai. Komplikasi-komplikasi infeksi misalnya disebabkan oleh suntikan-suntikan yang tidak steril dan cara-cara hidup yang tidak higienis.

Angka-angka yang dapat dikumpulkan mengenai komplikasi medik pada pasien-pasien yang dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di Jakarta, menunjukkan bahwa lebih dari 20 % pasien disertai oleh komplikasi penyakit fisik sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari penyalahgunaan obat (Chandra , 1978). Komplikasi medik tersebut meliputi : hepatitis (2,4 %), pleuritis (0,7 %), pneumonia (0,7%), Koch Pulmonum (1,4 %), gangguan gastrointestinal (2 %), typhoid (1,4 %), phlebitis (1,4 %), penyakit venerik (3,4 %) dan CVA (0,3 %).

2) Pendekatan psiko-edukasional

Penyalahgunaan obat dapat menimbulkan suatu kondisi yang dapat dikonseptualisasikan sebagai gangguan jiwa ; dimana penyalahgunaan obat (drug abuser) tidak mampu lagi berfungsi secara wajar dalam masyarakat, menunjukan perilaku maladaptif. Kondisi demikian dapat dilihat pada hendaknya dalam fungsi sosial atau pekerjaan / sekolah, ketidakmampuan untuk mengendalikan atau menghentikan penggunaan obat tersebut (compulsive drug taking), dan timbulnya gejala putus obat apabila penggunaan obat tersebut dihentikan atau dikurangi.

Lubis (1979) menggolongkan orang-orang dengan ketergantungan obat atau alcohol kedalam neurosa impuls. Hal ini ditandai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan seolah-olah didesak oleh impuls yang sukar dikendalikan. Gejala ini sepintas lalu mirip dengan gejala kompulsi (compulsive drug taking) disatu pihak, dan pada pihak lain gejala psikopatik. Penderita ketergantungan obat merupakan representasi impulsivitas yang paling karekteristik dan murni ; eksternalisasi yang menjelma dalam defensi berupa “tindakan“ (defence by acting). Sumber dan sifat ketergantungan tidak ditentukan oleh khasiat kimiawi obat melainkan oleh struktur kepribadian seseorang. Adapun sampai terjadi ketergantungan fisik, hal itu merupakan komplikasi sekunder. Dan, orang itu akanmenjadi ketergantungan apabila obat atau sesuatu zat itu mempunyai signifikansi spesifik baginya. Selanjutnya Lubis mengemukakan bahwa orang dengan ketergantungan obat, adalah orang dengan disposisi untuk bereaksi secara khas terhadap obat itu. Cara khas itu ialah bahwa mereka menggunakan efek tersebut untuk memenuhi kebutuhan oral, kebutuhan perasaan aman dan terlindungi dan untuk mempertahankan kepercayaan diri.

Shields (1976) mengemukakan bahwa cirri kepribadian (personality traits) mempunyai peranpenting disamping cirri biologik/genetik seseorang penyalahguna obat. Ciri kepribadian tertentu menyebabkan kondisi baik psikologik maupun fisiologik seseorang rawan terhadap penyalahgunaan obat (vulnerable).

Plaut (1967) menyatakan bahwa untuk dapat memahami mengapa seseorang sampai menyalahgunakan obat/minuman keras, tidak ada faktor tunggal yang menentukan, melainkan interaksi dari tiga faktor penentu, yaitu fisiologik tubuh, faktor kepribadian dan faktor social-budaya. Faktor kepribadian tersebut ditandai dengan sifat seseorang yang tidak mampu mengatasi berbagai kesulitan hidup, frustrasi, depresi dan kecemasan.

Jessor dkk (1968) mengutarakan pentingnya proses interaksi tersebut diatas sebagaimana halnya pada perilaku menyimpang lainnya. Perilaku menyimpang (deviant behaviour) menunjukkan tingkatan dari kelainan kepribadian, keterasingan, kepercayaan terhadap kekuatan luar, toleransi masyarakat terhadap perilaku menyimpang itu sendiri dan adanya kecenderungan untuk pemuasan segera.

Evans (1970) membagi penyalahgunaan obat dalam tiga kelompok yang ditinjaunya dari segi psikologik, yaitu :

a. Mereka yang menyalahgunakan obat karena mengalami konflik atau stress pribadi(depresi, kecemasan dan lain-lain).

b. Sebagai penjelmaan dari kelainan kepribadian, yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan berbagai masalh, tidak mampu belajar dari pengalaman dan lain sebagainya.

c. Mereka yang terlibat karena pengaruh lingkungan social (pengaruh kelompok/peer group)

Bagaimana tepatnya hubungan antara faktor kepribadian dan penyalahgunaan/ketergantungan, belum ditemukan jawaban yang pasti. Pendapat umum mengatakan bahwa penyalahgunaan/ketergantungan obat itu berhubungan dengan adanya defek pada perkembangan kepribadian, yang mengakibatkan terbentuknya jenis kepribadian tidak wajar (inadequate personality) atau kepribadian anti-sosial (psychopathic personality).

Glatt (1966) menunjukan beberapa contoh kepribadian yang rawan (vulnerable personality), misalnya kepribadian psikopatik, imatur dan inadekuat.

Winick (1965) menyebutkan bahwa remaja yang menyalahgunakan obat sebagai ungkapan pemberontakan terhadap keluarga.

Sokol (1965) mengatakan bahwa remaja menyalahgunakan obat guna mengembalikan kepercayaan diri, menghilangkan rasa rendah diri dan rasa tidak aman.

Navaratnam, Lhoo, Ward (1980) dalam penelitiannya terhadap penyalahgunaan di Malaysia mengemukakan bahwa penyalahgunaan obat mempunyai struktur kepribadian yang ditandai dengan kecemasan yang tinggi, neurotik dan miskinnya pemahaman diri.

Erwin Wijono, dkk (1982) dalam pengalamannya di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di Jakarta, mengatakan bahwa tidak ada kepribadian tertentu/khas untuk ketergantungan obat (kepribadian ketergantungan obat). Ketergantungan obat biasanya mudah terjadi pada mereka yang tergolong resiko tinggi dengan ciri-ciri : mudah kecewa, cepat emosionil, pembosan, lebih mengutamakan kenikmatan sesaat tanpa memikirkan akibatnya dikemudian hari (pemuasan segera). Berbagai alasan atau motivasi orang menyalahgunakan obat, antara lain :

a. Kepercayaan bahwa obat dapatmengatasi semua persoalan.

b. Harapan untuk memperoleh kenikmatan dari efek obat.

c. Untuk menghilangkan rasa sakit atau keadaan ketidaksenangan dan ketidak nyamanan.

d. Untuk memperoleh ide atau pikiran baru dan ilham.

e. Sebagai pernyataan tidak puas terhadap system dan nilai social yang berlaku.

f. Sebagai pernyataan sudah dewasa atau ikut zaman (mode).

g. Tekanan kelompok sebaya, agar dapat diterima dalam kelompoknya.

h. Karena mudah diperoleh.

Saifun Mansjur (1977) dalam penelitiannya terhadap penderita pertama yang dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di Jakarta, menyatakan bahwa frekuensi tertinggi penyalahgunaan obat dan ketergantungan obat pada golongan remaja. Disamping faktor kepribadian tertentu, kondisi masa remaja itu sendiri merupakan faktor pula. Remaja yang “normal” hanpir selalu menunjukan adanya ketidakstabilan emosional dan perubahan kepribadian.

Kusumanto Setyonegoro (1982) menyatakan bahwa di usia remaja (adolescent), usia sekitar 12-18 tahun, banyak masalah berada dalam kondisi transisi, masa peralihan dari masa kanak-kanak ke alam dewasa. Terdapat tiga jalur perkembangan remaja tanpa secara menyimpang jauh dari norma perkembangan yang lazim, yaitu :

a. Perkembangan kontinyu, di mana perkembangan remaja berjalan baik, dengan latar belakang keluarga dan social yang menguntungkan ;

b. Perkembangan bergelombang, di mana perkembangan remaja ditandai dengan berbagai konflik-konflik pribadi, ketidakstabilan mental-emosional yang disebabkan karena latar belakang yang kurang menguntungkan. Namun pada akhirnya remaja dapat menyesuaikan diri, meskipun dengan ketegangan yang berlebihan.

c. Perkembangan eksplosif, ditandai dengan latar belakang social dan keluarga yang amat tidak menguntungkan, terjadi ledakan-ledakan emosional seolah-olah yang bersangkutan sedang mengalami krisis besar. Remaja dalam konsisi demikian memerlukan pertolongan psikiatrik.

Bagaimana tepatnya hubungan antara faktor kepribadian dan penyalahgunaan/ketergantungan, belum ditemukan jawaban yang pasti. Pendapat umum mengatakan bahwa penyalahgunaan/ketergantungan obat itu berhubungan dengan adanya defek pada perkembangan kepribadian, yang mengakibatkan terbentuknya jenis kepribadian tidak wajar (inadequate personality) atau kepribadian anti-sosial (psychopathic personality).

Ausubel (1965) mengemukakan postulat yang membagi ketergantungan itu dalam 3 tipe, yaitu :

a. Ketergantungan primer, yang ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi, dimana pemakaian obat untuk mengatasi stress, umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian tidak wajar (inadequate personality).

b. Ketergantungan simtomatis, dimana penyalahgunaan obat sebagai salah satu gejala dari kelainan kepribadian yang mendasarinya, umumnya pada orang-orang dengan kepribadian psikopatik, kriminal dan pemakaian obat hanya untuk kesenangan semata.

c. Ketergantungan reaktif, terutama pada remaja karena rasa ingin tahu, pengaruh lingkungan atau kelompok.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa yang cukup rawan bagi terjadinya penyalahgunaan obat. Dengan memahami mekanisme psikologik diatas, maka peran pendidikan / edukasional menjadi penting artinya, formal dilakukan disekolah dan non formal dirumah / keluarga. Dalam hal ini upaya pendidikan pencegahan penyalahgunaan obat (preventive drug education) menduduki tempat penting dalam prevensi primer dari penyalahgunaan obat, yang terutama ditujukan kepada kelompok remaja dengan resiko tinggi (potential users) yang merupakan golongan terbesar dari keseluruhan populasi remaja/dewasa muda.

3) Pendekatan Psikososial-budaya

Penyalahgunaan obat mempunyai kaitan erat dengan faktor sosio-kultural dan sosio-ekonomik. Persepsi masyarakat berubah-ubah sesuai dengan perubahan kedua faktor social diatas, yang mempunyai dampak dalam penanggulangan penyalahgunaan obat.

Pattison, dkk (1968), telah mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap perubahan-perubahan persepsi social pada penyalahgunaan obat sejak tahun 1900 hingga 1965 menyimpulkan antara lain:

a. Telah terjadi perubahan anggapan bahwa penyalahgunaan obat tidak lagi dipandang sebagai masalah moral, melainkan sebagai masalah penyakit.

b. Pengobatan penyalahgunaan obat sebagai penderita/pasien amat berguna dalam usaha mengurangi permintaan (demand reduction), dengan demikian pengadaan obat dipasaran gelap akan menurun dengan sendirinya (supply reduction). Hal ini dipakai dalam usaha pengawasan lalulintas obat.

c. Dahulu dianggap bahwa faktor kondisi sosial yang buruk (pemukiman, penggangguran dan sebagainya) sebagai penyebab penyalahgunaan obat. Namun, kini faktor social semacam itu telah beralih kepada faktor keluarga. Pendekatan yang menitik beratkan peran faktor keluarga ini telah dianut sejak tahun 1960-an.

d. Penyalahgunaan obat tidak lagi dianggap sebagai kriminal, melainkan sebagai korban (victim), sebagai penderita yang memerlukan pertolongan serta pengobatan.

e. Perubahan persepsi sosial lainnya adalah perubahan sikap terhadap penyalahgunaan obat, tidak lagi bersikap punutiv melainkan pada sikap terapeutik.

Pengaruh lingkungan sosial besar sekali bagi terjadinya penyalahgunaan / ketergantungan obat. Kondisi sosial tertentu telah membuat keadaan sedemikian rupa sehingga kondusif bagi seseorang untuk mencoba-coba dengan obat. Rasa ingin tahu, pemberontakan terhadap figure orang tua atau otoritas, meniru-niru, tekanan dari teman sekelompok (peer group pressure), rasa jenuh dan bosan, keinginan untuk melarikan diri dari kesulitan dan lain sebagainya, kesemuanya itu membuat seseorang mencari keterangan tentang khasiat obat yang dapat memberikan kepuasan dan kenikmatan.

Preble dan Casey (1969) mengemukakan bahwa ada semacam penghargaan sosial yang diberikan kepada penyalahgunaan obat atas keberhasilannya dalam melakukan berbagai tindak kriminal. Struktur masyarakat yang mengalami deprivasi demikian itu sangat kondusif bagi tumbuhnya penyalahgunaan obat di kalangan anak dan remaja.

Penyalahgunaan obat hampir selalu berkaitan dengan perilaku anti-sosial dan kriminalitas; demikian pula halnya dengan kenakalan remaja (Winnick, 1965). Dampak tehadap masyarakat, Wilson (1969) mengemukakan bahwa penyalahgunaan obat tidak saja berakibat buruk bagi si pemakai, namun juga bagi keluarga dan masyrarakat.

Camps (1970) mengemukakan berbagai dampak karena lepasnya kontrol diri sebagai akibat pemakaian obat/alkohol yang berlebihan, antara lain:

a. Pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya.

b. Penyerangan/ofensi seksual.

c. Kecelakaan lalu-lintas.

d. Gangguan tingkah laku.

e. Kemunduran dalam pekerjaan dan penampilan sosial.

Cahalan, dkk (1979) mengemukakan data-data penderita alkoholisma di Amerika Serikat, jumlah kematian sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari penyalahgunaan alkohol (kematian karena penyakit/komplikasi medik, pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan), jumlah anak / keluarga yang turut menderita, kerugian jamkerja dan kerugian finansial. Problematic alkoholisma di negara-negara yang penduduknya beragama Islam relatif amat kecil. Hal ini disebabkan karena pandangan agama Islam yang mengharamkan minuman keras.

Kusumanto Setyonegoro (1972) mengemukakan bahwa penyalahgunaan obat tidak lagi dipandang sebagai obat untuk mengatasi stress hidup ataupun sekedar untuk rekreasi, namun penggunaan obat itu merupakan bagian dari pola hdup modern yang serba kompleks. Perubahan sosial sebagai konsekuensi modernisasi mengakibatkan pula pola keluarga berubah dimana terdapat banyak kelonggaran dan serba boleh (Greater permissiveness) diberikan kepada anak dan remaja. Demikian pula pola hidup konsumtif telah mewarnai kehidupan remaja diperkotaan, dimana salah satu dampaknya adalah kenakalan remaja, penyalahgunaan obat dan minuman keras.

Kusumanto dan Saifun (1975) dalam penelitiannya terhadap 100 penyalahgunaan obat yang berobat/dirawat di RSKO Jakarta, menyatakan bahwa keluarga sebagai matriks sosial mempunyai peranan penting bagi pertumbuhan anak, sebagai latar belakang kepribadian anak penyalahgunaan obat. Kehidupan keluarga dari remaja penyalahgunaan obat tersebut antara lain :

a. Sebagian besar dari orang tua sering keluar rumah.

b. Andaikata mereka di rumah biasanya mereka sibuk dengan urusannya sendiri.

c. Sebagian besar keluarga mempunyai anak lebih dari 5 orang.

d. Sebagian keluarga sering berpindah-pindah.

Selanjutnya disimpulkan bahwa anak terlepas dari ikatan batin dengan keluarganya dan membentuk nialai-nilai sendiri dengan mengkaitkan dirinya dengan cara menggunakan obat. Kehidupan keluarga yang harmonis dimana terdapat hubungan emosional yang hangat antara ayah-ibu-anak, seringkali terganggu oleh berbagai faktor yang datangnya dari luar atau dari diri pribadi salah satu anggota keluarga. Keluarga memainkan peranan penting dalam menimbulkan dan mempertahankan psikopatologi anak.

Judianne Dense-Gerber (1983) mengemukakan bahwa penyalahgunaan obat selalu mempunyai kaitan dengan kelainan dalam sistem keluarga, yang mencerminkan adanya kelainan psikopatologik dari satu atau lebih anggota keluarga. Keluarga merupakan suatu organisasi psikososial dan sebagai matriks sosial, para anggota keluarga terlibat dalam komunikasi, pembagian peranan dan transaksi. Permasalahan dalam keluarga dapat ditinjau dari segi psikodinamik dan juga psikososial. Gangguan dalam fungsi keluarga (family dysfunction) dapat merupakan keadaan yang kondusif bagi remaja yang mempunyai gangguan kepribadian untuk terlibat dalam penyalahgunaan obat.

Chandra (1980) dalam penelitiannya yang merupakan pelengkap dari Kusumanto dan Saifun, mengemukakan pentingnya peranan keluarga dalam upaya terapi dan rehabilitasi penyalahgunaan obat. Bebberapa hal yang dapat disimpulkan adalah antara lain bahwa terapai keluarga (family therapy) dapat membantu, dengan mempertimbangkan secara khusus berbagai kebutuhan para anggota keluarga tersebut di bidang sosial, pendidikan, filsafat dan keagamaan, serta ekonomi. Angka-angka yang diperoleh mengenai hubungan antara keluarga dengan penyalahgunaan obat (anaknya) memberi kesan bahwa keluarga perlu mendapat perhatian lebih mendalam dalam usaha menolong anak tersebut kembali ke masyarakat. Potensi keluarga harus diperhitungkan, karena pada hakekatnya keluargalah yang akan melanjutkan langkah-langkah rehabilitasi yang telah digariskan selama anak masih dalam perawatan di rumah sakit.




Sumber : Google

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Bahaya Narkoba Bab II"

Posting Komentar